Singapura – Isu “greenwashing” atau praktik menyesatkan konsumen dengan klaim ramah lingkungan yang dilebih-lebihkan, kini menjadi sorotan tajam di kalangan regulator keuangan dan aktivis lingkungan global. Sebuah studi baru yang dirilis oleh Global Governance Initiative (GGI) mengungkap bahwa lebih dari 40% laporan keberlanjutan (Sustainability Reports) dari perusahaan-perusahaan besar di Asia Pasifik menunjukkan indikasi greenwashing yang signifikan.
Laporan tersebut menyoroti bagaimana banyak perusahaan menggunakan metrik yang kabur atau selektif dalam melaporkan jejak karbon mereka. Misalnya, sebuah perusahaan energi mungkin menonjolkan investasi kecilnya pada energi terbarukan, sementara pada saat yang sama, mereka secara masif meningkatkan produksi bahan bakar fosil yang menjadi inti bisnisnya. Regulator kini mulai bertindak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di beberapa negara, termasuk Indonesia dan Singapura, sedang menyusun regulasi baru yang mewajibkan standar pengungkapan data lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang lebih ketat dan terverifikasi pihak ketiga.
Para investor didorong untuk melakukan due diligence yang lebih mendalam, tidak hanya terpaku pada angka-angka di laporan, tetapi juga melihat tindakan nyata perusahaan di lapangan. Tindakan hukum terhadap greenwashing juga mulai marak, menunjukkan bahwa era klaim lingkungan yang longgar telah berakhir. Langkah ini krusial untuk memastikan bahwa transisi hijau global benar-benar didukung oleh komitmen nyata, bukan sekadar strategi pemasaran.